Kamis, 22 September 2016
Minggu, 28 Agustus 2016
Penggunaan Garam dan Asap Cair Sebagai Upaya Pengawetan dan Penambah Cita Rasa pada Ikan Bilih
Pada artikel ini
kita akan sedikit membahas tentang Myslacokuseus
padangensis atau yang biasa dikenal
dengan nama ikan bilih. Ikan bilih, merupakan ikan air tawar endemik yang hidup di Danau Singkarak, Sumatera Utara. Secara
umum ikan bilih menyukai perairan jernih, suhu perairan rendah (26,0 – 28,0 oC)
dan daerah literol perairannya berbatu kerikil dan atau pasir. Berdasarkan sifat dan kebiasaan makannya,
ikan bilih termasuk ikan benthopelagis, yaitu jenis ikan yang dapat
memanfaatkan jenis makanan yang berada di dasar perairan maupun di lapisan
tengah dan permukaaan air.
Penghasilan nelayan di sekitar danau Singkarak
sangat tergantung pada jumlah hasil tangkapan dan harga jual ikan tersebut.
Apabila hasil tangkapan banyak sering menjadi kendala bagi nelayan karena harga
ikan menjadi turun. Penurunan harga ini ditentukan oleh pedagang pengumpul yang
membeli ikan pada nelayan. Nelayan terpaksa menyetujui harga tersebut, karena
kalau ikan itu tidak dijual akan cepat membusuk. Ikan segar yang ada di pasaran
tidak tahan lama karena mudah mengalami pembusukan akibat pengaruh kandungan
protein dan air yang cukup tinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu perlakuan
agar ikan segar tersebut tahan lama sehingga mudah dipasarkan dan dapat
memenuhi kebutuhan konsumen serta mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, dimana
salah satu perlakuan yang dapat dilakukan adalah pengawetan.
Pada
kesempatan kali ini, kita akan mempelajari tentang penggunaan garam dan asap
cair yang dapat menambah cita rasa dan kualitas ikan bilih. Asap cair adalah cairan kondensat dari asap yang
telah mengalami penyimpanan dan penyaringan untuk memisahkan tar dan
bahan-bahan partikulat. Salah satu cara untuk membuat asap cair adalah dengan
mengkondensasikan asap hasil pembakaran tidak sempurna dari tempurung kelapa.
Selama pembakaran, komponen utama tempurung kelapa yang berupa selulosa,
hemiselulosa dan lignin akan mengalami pirolisis. Selama pirolisis akan
terbentuk berbagai macam senyawa.
Dalam proses
pengasapan ikan dengan asap cair, unsur yang paling berperan adalah asap yang
dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa, sedangkan yang berperan dalam
peningkatan daya awet ikan dalam proses pengasapan bukan asap melainkan
unsur-unsur kimia yang terkandung di dalam asap. Senyawa-senyawa yang terdapat
di dalam asap dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan, yaitu fenol,
karbonil (terutama keton dan aldehid), asam, furan, alkohol, ester, lakton,
hidrokarbon alifatik dan hidrokarbon polisiklis aromatis. Namun komponen utama yang menyumbang dalam reaksi
pengasapan hanya tiga senyawa, yaitu : asam, derivat fenol dan karbonil.
Unsur-unsur kimia tersebut antara lain dapat berperan sebagai pemberi
flavor (rasa), pembentuk warna, antibakteri dan antioksidan (PDII-LIPI , 2005).
Peralatan yang digunakan yaitu peralatan
pembuat asap cair (wadah stainless steel,
kompor, kondensor, botol aqua,
pompa air, selang air, standar,
klem, gelas ukur, corong,
timbangan dan wajan dan bahan-bahan yang dipakai yaitu tempurung kelapa
yang diambil dari limbah hasil buangan rumah tangga, ikan Bilih yang diambil dari danau Singkarak
disekitar nagari Sumpur, garam dapur
halus dan bahan bakar minyak tanah.
Tempurung kelapa sebagai
bahan dasar pembuatan asap cair ini sebelum digunakan terlebih dahulu
dikeringkan dengan bantuan sinar matahari.
Kemudian dibersihkan dari
sabut-sabut halus yang melekat pada permukaannya dan juga dibersihkan dari
sisa-sisa daging buah yang masih melekat pada bagian dalam tempurung
kelapa. Setelah dibersihkan lalu
diperkecil ukurannya menjadi seperdelapan bagian. Sedangkan ikan bilih
yang segar dibersihkan, dicuci dan ditempatkan pada wadah yang berlobang agar
airnya turun.
Pembuatan asap cair
Timbang 1 kg
tempurung kelapa, kemudian dimasukkan
kedalam wadah stainless, pasang
tutupnya dan letakkan diatas pemanas
(kompor), rangkaian alat kondensasi
dipasangkan kondensor yang dialiri air,
kemudian hidupkan pemanas, tunggu
sampai keluarnya asap cair berupa tetesan-tetesan pada penampung. Pemanasan dilakukan sampai tidak ada lagi
asap cair yang menetes. Asap cair
yang diperoleh merupakan asap cair yang masih mengandung tar. Untuk
memisahkannya dilakukan dekantasi selama 1 minggu dan dilakukan
penyaringan dengan menggunakan kertas saring.
Untuk proses penggaraman dan pengasapan ikan bilih
dimasukkan garam halus sebanyak 40 g dan
50 mL asap cair yang diperoleh setelah penyaringan (c) kedalam panci yang
berisi 1 L air dan aduk sampai rata, kemudian masukkan 1 kg ikan bilih dan
biarkan direndam selama 2 jam, setelah itu ikan bilih dikeluarkan dan
ditiriskan lalu diletakkan di wajan untuk dijemur sampai kering.
Pengawetan dengan menggunakan garam dan asap cair ini diharap
berguna dan dapat diterapkan langsung oleh masyarakat sekitar Danau Singkarak
sehingga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.
Oleh : Esa Wahyu Juliantoro (14/367143/PN/13807)
Refrensi:
Panjaitan,
Pohan. 2010. Kajian Bio-Ekologi Populasi Ikan Bilih di Perairan Danau Toba. VISI. Vol.18 No.2.
Refilda dan Indrawati. 2009. Penyuluhan Penggunaan Garam dan Asap Cair untuk
Menambah Cita Rasa dan Kualitas Ikan Bilih (Mystacoleuseus padangensis)
dari Danau Singkarak dalam Meningkatkan Perekonomian Rakyat. Warta Pengabdian
Andalas. Vol.17 No.23. Sabtu, 27 Agustus 2016
INDONESIA: PENANGKAP HIU TERBESAR DI DUNIA
Anda pasti sudah tidak asing dengan kabar manfaat sirip ikan hiu yang bermanfaat bagi kesehatan sehingga memiliki nilai jual yang tinggi.. Adanya kepercayaan tersebut membuat banyak oknum yang kerap kali menangkap ikan hiu untuk mendongkrak pendapatan. Hiu lengkap dengan sirip dihargai Rp 18 ribu hingga 28 ribu per kilo, hiu tanpa sirip dihargai Rp 9000 per kilo. Maka seekor hiu dengan berat sekitar 70 kilogram bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp 2 juta.
Banyaknya perburuan hiu di Indonesia menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah tertinggi perburuan hiu di dunia. Tepatnya sekitar 60.000 ton produksi ikan hiu (data LIPI 2012) dan 434 ton sirip ikan hiu yang diekspor selama 2012 (BPS). Lembaga konservasi hutan dan satwa Protection of Forest and Fauna (ProFauna) mendapatkan informasi bahwa angka perburuan hiu di Indonesia mencapai jumlah puluhan juta ekor dalam satu tahun. “Beberapa sumber mengatakan perburuan hiu di Indonesia mencapai angka 10 juta ekor dalam satu tahun. Tingginya potensi pasar dan aturan yang tidak menyeluruh membuat perburuan hiu terus berlanjut,”. Hal tersebut membuat Indnesia menjadi negara penangkap hiu terbesar di dunia.
Anda pasti sudah tidak asing dengan kabar manfaat sirip ikan hiu yang bermanfaat bagi kesehatan sehingga memiliki nilai jual yang tinggi.. Adanya kepercayaan tersebut membuat banyak oknum yang kerap kali menangkap ikan hiu untuk mendongkrak pendapatan. Hiu lengkap dengan sirip dihargai Rp 18 ribu hingga 28 ribu per kilo, hiu tanpa sirip dihargai Rp 9000 per kilo. Maka seekor hiu dengan berat sekitar 70 kilogram bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp 2 juta.
Sumber: Antara
Penangkapan hiu di Cilacap - Jawa Tengah
Sumber: Mongabay.co.id
Hiu yang telah dihilangkapn siripnya
Sumber: Mongabay.co.id
Proses pemotongan sirip ikan hiu
Sumber: Mongabay.co.id
Sungguh miris melihat hiu sebagai raja di lautan menjadi tidak berdaya melawan oknum yang tidak bertanggung jawab. Namun, jika dipikir ulang kita tidak bisa menyalahkan nelayan karena ketidaktahuan mereka dalam jenis hiu yang dilindungi. Di Indonesia hanya ada dua jenis hiu yang dilindungi, sementara yang lain tidak. Peraturan yang tidak menyeluruh ini membuat penegakan aturan sulit. Sesuai PP nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar hanya hiu paus dan hiu gergaji saja yang dilindungi. Sementara tak banyak nelayan yang bisa membedakan mana sirip miik hiu gergaji dan hiu paus jika dibandingkan dengan hiu jenis lain. Selain itu terkadang hiu tersebut tidak sengaja terperangkap ke dalam jaring para nelayan. Namun bagi sebagian nelayan lain faktor ekonomi adalah alasannya. Karena harga jual dan potensi ekspor yang tinggi. Perburuan hiu yang terus berlanjut ini akan berakibat terganggunya rantai makanan yang ada karena hiu berperan sebagai predator atau konsumen tingkat atas. Sehingga rantai makanan akan menjadi tidak seimbang.
Rantai makanan di laut
Sumber: Save Shark Indonesia
Melihat beberapa fakta diatas seharusnya perburuan hiu dikurangi bahkan dihentikan demi menjaga populasi hiu demi anak cucu kita nanti. Sebenarnya hiu tidak hanya bernilai sebagai sumber obat dan pangan namun juga sebagai ekowisata. Hasil penelitian dari Global Shark Conservation ini adalah bahwa tidak hanya pemasukan uang, ekowisata berbasis pengamatan hiu ini juga mampu membuka lebih dari 10.000 pekerjaan secara global. Industri ekowisata hiu harus terus tumbuh, agar bermanfaat ekonomi bagi orang banyak. Seperti contohnya, di kawasan French Polynesia, nilai ekowisata hiu sekitar 800 kali lebih besar dari nilai ekonomi nelayan lokal yang menangkap hiu dan menjualnya untuk dikonsumsi. Kita juga dapat menolong keberadaan hiu dengan mesosialisasikan kembali kepada nelayan bahwa hiu tidak untuk diburu. Meskipun tidak semua hiu dilarang untuk diatangkap di perairan Indonesia. Untuk mengenali jenis hiu tersebut FAO sudah mengeluarkan software yang dapat mengenali jenis hiu berdasarkan bentuk sirip dorsal (punggung) dan ventral (perut), dengan adanya software tersebut dapat membantu kita bahkan nelayan untuk mengetahui jenis iu yang ditangkap dilarang atau bukan, dan diharapkan tidak untuk ditangkap kembali.
Software iSharkFin
Sumber: FAO
Ayo bertindak jangan hanya diam dan melihat. Selamatkan hiu, selamatkan Indonesia.
Ditulis oleh: Syifa Aulia Rahma (14/365142/PN/13699)
Sumber:
Langganan:
Postingan (Atom)